Judul cerpen: "Persahabatan Sunyi"
Karangan: Harris
Effendi Thahar..
Analisis Cerpen yang Berjudul Persahabatan Sunyi karya Harris Effendi Thahar
Sinopsis Cerpen Persahabatan Sunyi
Lelaki setengah umur yang kelihatan cukup sehat itu akan “tutup praktik” ketika matahari mulai tergelincir ke Barat. Ditemani oleh seekor anjing betina kurus, ia turun dengan langkah pasti menuju lekukan sungai hitam di pinggir jalan, mendapatkan gerobak dorong kecil beroda besi seukuran asbak. Dari dalam gerobak yang penuh dengan buntelan dan tas-tas berwarna seragam dengan dekil tubuhnya.
Lelaki itu lewat begitu saja mendorong gerobak bermuatan anjing dan buntelan-buntelan kumal miliknya sambil mencari puntung-puntung rokok yang masih berapi di pinggir jalan. Tiba-tiba saja ada seorang bocah perempuan ingusan yang memegang krincingan dari tutup botol munuman melempari anjing itu. Lelaki itu berkacak pinggang, menatap bocah perempuan itu dengan tajam. Bocah perempuan itu balas menantang sambil berkacak pinggang. Dan lelaki itu akhirnya meninggalkan tempat itu dengan mendorong kembali gerobak kecilnya. Namun, bocah perempuan dengan kerincingan itu mengikutinya dari belakang dengan jarak sepuluh meteran.
Malam telah larut. Bocah perempuan ingusan itu terbirit-birit dikejar gerimis yang mulai menghajarnya. Rambutnya yang nyaris gimbal itu kini melekat lurus-lurus di kulit kepalanya yang disiram gerimis. Bocah itu mengeluarkan lilin dan korek api dari dalam kantong plastik. Berkali-kali menggoreskan korek api, padam lagi oleh tiupan angin yang bertempias. Lalu ia mendekat ke arah lelaki itu agar terlindung oleh angina dan berhasil menyalakan lilin. Bocah itu melihat ujung lipatan kardus tersembul dari dalam gerobak kecil di atas kepala lelaki setangah umur itu. Ia berusaha menariknya keluar tanpa menimbulkan suara berisik dan membangunkan lelaki itu.setelah berhasil, ia membaringkan dirinya yang setengah menggigil karena pakaiannya basah. Merapat pada tubuh lelaki yang memunggunginya itu sekedar mendapatkan imbasan panas dari tubuh lelaki itu.
Deru mesin mobil yang melintas jembatan beton di atas mereka justru menimbulkan rasa tenteram, rasa hidup di sebuahn kota yang sibuk. Lelaki setengah umur itu juga sedang bermimpi tidur dengan seorang perempuan. Ketika ia membalikkan badannya, ia menangkap erat-erat tubuh bocah yang setengah basah itu dan melanjutkan mimpinya.
Sebelum subuh, pasukan tramtib itu dating lagi, lengkap dengan polisi dan beberapa truk mengangkut gelandangan. Mimpi lelaki itu tersangkut bersama gerobaknya di atas bak truk. Begitu juga bocah perempuan itu.
Rawamangun, 3 Oktober 2004
Analisis Cerpen yang Berjudul Persahabatan Sunyi karya Harris Effendi Thahar
Sinopsis Cerpen Persahabatan Sunyi
Lelaki setengah umur yang kelihatan cukup sehat itu akan “tutup praktik” ketika matahari mulai tergelincir ke Barat. Ditemani oleh seekor anjing betina kurus, ia turun dengan langkah pasti menuju lekukan sungai hitam di pinggir jalan, mendapatkan gerobak dorong kecil beroda besi seukuran asbak. Dari dalam gerobak yang penuh dengan buntelan dan tas-tas berwarna seragam dengan dekil tubuhnya.
Lelaki itu lewat begitu saja mendorong gerobak bermuatan anjing dan buntelan-buntelan kumal miliknya sambil mencari puntung-puntung rokok yang masih berapi di pinggir jalan. Tiba-tiba saja ada seorang bocah perempuan ingusan yang memegang krincingan dari tutup botol munuman melempari anjing itu. Lelaki itu berkacak pinggang, menatap bocah perempuan itu dengan tajam. Bocah perempuan itu balas menantang sambil berkacak pinggang. Dan lelaki itu akhirnya meninggalkan tempat itu dengan mendorong kembali gerobak kecilnya. Namun, bocah perempuan dengan kerincingan itu mengikutinya dari belakang dengan jarak sepuluh meteran.
Malam telah larut. Bocah perempuan ingusan itu terbirit-birit dikejar gerimis yang mulai menghajarnya. Rambutnya yang nyaris gimbal itu kini melekat lurus-lurus di kulit kepalanya yang disiram gerimis. Bocah itu mengeluarkan lilin dan korek api dari dalam kantong plastik. Berkali-kali menggoreskan korek api, padam lagi oleh tiupan angin yang bertempias. Lalu ia mendekat ke arah lelaki itu agar terlindung oleh angina dan berhasil menyalakan lilin. Bocah itu melihat ujung lipatan kardus tersembul dari dalam gerobak kecil di atas kepala lelaki setangah umur itu. Ia berusaha menariknya keluar tanpa menimbulkan suara berisik dan membangunkan lelaki itu.setelah berhasil, ia membaringkan dirinya yang setengah menggigil karena pakaiannya basah. Merapat pada tubuh lelaki yang memunggunginya itu sekedar mendapatkan imbasan panas dari tubuh lelaki itu.
Deru mesin mobil yang melintas jembatan beton di atas mereka justru menimbulkan rasa tenteram, rasa hidup di sebuahn kota yang sibuk. Lelaki setengah umur itu juga sedang bermimpi tidur dengan seorang perempuan. Ketika ia membalikkan badannya, ia menangkap erat-erat tubuh bocah yang setengah basah itu dan melanjutkan mimpinya.
Sebelum subuh, pasukan tramtib itu dating lagi, lengkap dengan polisi dan beberapa truk mengangkut gelandangan. Mimpi lelaki itu tersangkut bersama gerobaknya di atas bak truk. Begitu juga bocah perempuan itu.
Rawamangun, 3 Oktober 2004
Unsur Intrinsik Cerpen Persahabatan
Sunyi
1. Tema
Tema pada cerpen tersebut adalah tentang perjuangan hidup.lebih tepatnya berkisah seputar seorang lelaki separuh umur dan seorang bocah perempuan ingusan yang menjalani kerasnya kehidupan kota Jakarta
1. Tema
Tema pada cerpen tersebut adalah tentang perjuangan hidup.lebih tepatnya berkisah seputar seorang lelaki separuh umur dan seorang bocah perempuan ingusan yang menjalani kerasnya kehidupan kota Jakarta
2. Latar dan alur
Latar cerita di dalam cerpen itu adalah Kota Jakarta. Cerita tersebut menggunakan alur maju.
3. Tokoh
Tokoh di dalam cerita itu adalah Lelaki setengah umur dan Bocah perempuan
4. Karakter lelaki setengah umur
Penyayang:
Pembuktian dari tokoh lelaki setengah umur ini penyayang adalah pada kutipan cerita sebagai berikut:
"….Lelaki setengah umur itu mengambil sebuah piring plastik dari dalam buntelan lalu memberi makan yang didapatnya dari rumah makan tadi. Keduanya makan dengan lahap tanpa menoleh kanan kiri."
Dari kutipan cerita di atas didapatkan bahwa si Lelaki setengah umur itu memiliki sifat penyayang terhadap bocah perempuan kecil yang membawa kerincingan dari tutup botol minuman itu walaupun mereka tidak saling mengenal. Dengan rela ia berbagi makanan dengan gadis itu agar mereka berdua tidak kelaparan.
Pembuktian sifat penyayang lainnya yang dimiliki oleh lelaki itu adalah sebagai berikut:
"…. Deru mesin mobil yang melintas jembatan beton di atas mereka justru menimbulkan rasa tenteram, rasa hidup di sebuahn kota yang sibuk. Lelaki setengah umur itu juga sedang bermimpi tidur dengan seorang perempuan. Ketika ia membalikkan badannya, ia menangkap erat-erat tubuh bocah yang setengah basah itu dan melanjutkan mimpinya."
Dari kutipan cerita di atas didapatkan pembuktian bahwa si tokoh (lelaki setengah umur) itu memang benar-benar penyayang. Dia berusaha menghangatkan bocah perempuan yang kedinginan tidur dengan cara mendekapnya, agar si bocah perempuan itu merasa hangat.
5. Karakter Bocah Perempuan
Karakter Bocah Perempuan itu adalah pemberani, hal ini terdapat pada kutipan berikut:
"…Seorang bocah perempuan ingusan yang memegang kerincingan dari kumpulan tutup botol minuman telah melempari anjing itu. Lelaki itu berkacak pinggang enatap bocah perempuan itu dengan tajam. Bocah perempuan itu balas menantang sambil berkacak pinggang."
6. Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan penulis pada cerpen tersebut menggunakan sudut pandang orang ketiga.
7. Amanat
Amanat yang disampaikan oleh penulis dalam cerpen itu adalah:
a. jangan pantang menyerah dalam menjalani hidup dan mensyukuri atas karunia yang diberikan Tuhan kepadanya.
b. berikanlah kasih sayang kepada makhluk hidup.
Unsur ekstrinsik
Unsur ekstrinsik yang terdapat pada cerpen itu adalah adanya nilai sosial, yakni:
1. Di dalam cerpen itu digambarkan bahwa tokoh mau berbagi tempat tidur dengan bocah perembuan yang selalu mengikutinya.
"….. Bocah itu melihat ujung lipatan kardus tersebut dari dalam gerobak kecil di atas kepala lelaki setengah umur itu. Ia berusaha menariknya keluar tanpa menimbulkan suara berisik dan membangunkan lelaki itu. Setalah berhasil, ia membaringkan dirinya yang setengah menggigil karena pakaiannya basah. Merapat pada tubuh lelaki yang memunggunginya itu, sekedar mendapatkan imbasan panas dari tubuh lelaki itu."
2. Adanya perjuangan hidup yang digambarkan di dalam cerpen itu, yakni:
a. Perjuangan hidup Lelaki setengah umur dengan cara memulung dan mencari sisa-sisa makanan di restoran.
b. Perjuangan hidup Bocah perempuan mencari makan dengan cara mengamen dan ia terus mengikuti si Lelaki setengah umur dari belakang untuk mengharap belas kasih dan perlindungan.
Latar cerita di dalam cerpen itu adalah Kota Jakarta. Cerita tersebut menggunakan alur maju.
3. Tokoh
Tokoh di dalam cerita itu adalah Lelaki setengah umur dan Bocah perempuan
4. Karakter lelaki setengah umur
Penyayang:
Pembuktian dari tokoh lelaki setengah umur ini penyayang adalah pada kutipan cerita sebagai berikut:
"….Lelaki setengah umur itu mengambil sebuah piring plastik dari dalam buntelan lalu memberi makan yang didapatnya dari rumah makan tadi. Keduanya makan dengan lahap tanpa menoleh kanan kiri."
Dari kutipan cerita di atas didapatkan bahwa si Lelaki setengah umur itu memiliki sifat penyayang terhadap bocah perempuan kecil yang membawa kerincingan dari tutup botol minuman itu walaupun mereka tidak saling mengenal. Dengan rela ia berbagi makanan dengan gadis itu agar mereka berdua tidak kelaparan.
Pembuktian sifat penyayang lainnya yang dimiliki oleh lelaki itu adalah sebagai berikut:
"…. Deru mesin mobil yang melintas jembatan beton di atas mereka justru menimbulkan rasa tenteram, rasa hidup di sebuahn kota yang sibuk. Lelaki setengah umur itu juga sedang bermimpi tidur dengan seorang perempuan. Ketika ia membalikkan badannya, ia menangkap erat-erat tubuh bocah yang setengah basah itu dan melanjutkan mimpinya."
Dari kutipan cerita di atas didapatkan pembuktian bahwa si tokoh (lelaki setengah umur) itu memang benar-benar penyayang. Dia berusaha menghangatkan bocah perempuan yang kedinginan tidur dengan cara mendekapnya, agar si bocah perempuan itu merasa hangat.
5. Karakter Bocah Perempuan
Karakter Bocah Perempuan itu adalah pemberani, hal ini terdapat pada kutipan berikut:
"…Seorang bocah perempuan ingusan yang memegang kerincingan dari kumpulan tutup botol minuman telah melempari anjing itu. Lelaki itu berkacak pinggang enatap bocah perempuan itu dengan tajam. Bocah perempuan itu balas menantang sambil berkacak pinggang."
6. Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan penulis pada cerpen tersebut menggunakan sudut pandang orang ketiga.
7. Amanat
Amanat yang disampaikan oleh penulis dalam cerpen itu adalah:
a. jangan pantang menyerah dalam menjalani hidup dan mensyukuri atas karunia yang diberikan Tuhan kepadanya.
b. berikanlah kasih sayang kepada makhluk hidup.
Unsur ekstrinsik
Unsur ekstrinsik yang terdapat pada cerpen itu adalah adanya nilai sosial, yakni:
1. Di dalam cerpen itu digambarkan bahwa tokoh mau berbagi tempat tidur dengan bocah perembuan yang selalu mengikutinya.
"….. Bocah itu melihat ujung lipatan kardus tersebut dari dalam gerobak kecil di atas kepala lelaki setengah umur itu. Ia berusaha menariknya keluar tanpa menimbulkan suara berisik dan membangunkan lelaki itu. Setalah berhasil, ia membaringkan dirinya yang setengah menggigil karena pakaiannya basah. Merapat pada tubuh lelaki yang memunggunginya itu, sekedar mendapatkan imbasan panas dari tubuh lelaki itu."
2. Adanya perjuangan hidup yang digambarkan di dalam cerpen itu, yakni:
a. Perjuangan hidup Lelaki setengah umur dengan cara memulung dan mencari sisa-sisa makanan di restoran.
b. Perjuangan hidup Bocah perempuan mencari makan dengan cara mengamen dan ia terus mengikuti si Lelaki setengah umur dari belakang untuk mengharap belas kasih dan perlindungan.
PERSAHABATAN SUNYI
Harris
Effendi Thahar
Di sebuah jembatan penyeberangan tak beratap,
matahari menantang garang di langit Jakarta yang berselimut karbon dioksida.
Orang-orang melintas dalam gegas bersimbah peluh diliputi lautan udara
bermuatan asap knalpot. Lelaki setengah umur itu masih duduk di situ,
bersandarkan pagar pipa-pipa besi, persis di tengah jembatan. Menekurkan kepala
yang dibungkus topi pandan kumal serta tubuh dibalut busana serba dekil,
tenggorok di atas lembaran kardus bekas air kemasan. Di depannya sebuah kaleng
peot, nyaris kosong dari uang receh logam pecahan terkecil yang masih berlaku.
Dan, di bawah jembatan, mengalir kendaraan bermotor dengan derasnya jika di
persimpangan tak jauh dari jembatan itu berlampu hijau. Sebaliknya, arus lalu
lintas itu mendadak sontak berdesakan bagai segerombolan domba yang terkejut
oleh auman macan, ketika lampu tiba-tiba berwarna merah.
Lelaki setengah umur yang kelihatan cukup sehat
itu akan “tutup praktik” ketika matahari mulai tergelincir ke Barat. Turun
dengan langkah pasti menuju lekukan sungai hitam di pinggir jalan, mendapatkan
gerobak dorong kecil beroda besi seukuran asbak. Dari dalam gerobak yang penuh
dengan buntelan dan tas-tas berwarna seragam dengan dekil tubuhnya, ia
mencari-cari botol plastik yang berisi air entah diambil dari mana, lalu
meminumnya. Setelah itu ia bersiul beberapa kali. Seekor anjing betina kurus
berwarna hitam muncul, mengendus-endus dan menggoyang-goyangkan ekornya. Ia
siap berangkat, mendorong gerobak kecilnya melawan arus kendaraan, di pinggir kanan
jalan. Anjing kurus itu melompat ke atas gerobak, tidur bagai anak balita yang
merasa tenteram di dodong ayahnya.
Melintasi pangkalan parkir truk yang berjejer
memenuhi trotoar, para pejalan kaki terpaksa melintas di atas aspal dengan
perasaan waswas menghindari kendaraan yang melaju. Lelaki itu lewat begitu saja
mendorong gerobak bermuatan anjing dan buntelan-buntelan kumal miliknya sambil
mencari-cari puntung rokok yang masih berapi di pinggir jalan itu, lalu
mengisapnya dengan santai. Orang-orang menghindarinya sambil menutup hidung
ketika berpapasan di bagian jalan tanpa tersisa secuil pun pedestrian karena
telah dicuri truk-truk itu.
Lelaki setengah umur itu memarkir gerobak
kecilnya di bawah pokok akasia tak jauh setelah membelok ke kanan tanpa membangunkan
anjing betina hitam kurus yang terlelap di atas buntelan-buntelan dalam gerobak
itu. Ia menepi ke pinggir sungai yang penuh sampah plastik, lalu kencing begitu
saja. Ia tersentak kaget ketika mendengar anjingnya terkaing. Seorang bocah
perempuan ingusan yang memegang krincingan dari kumpulan tutup botol minuman
telah melempari anjing itu. Lelaki itu berkacak pinggang, menatap bocah
perempuan ingusan itu dengan tajam. Bocah perempuan ingusan itu balas menantang
sambil juga berkacak pinggang. Anjing betina hitam kurus itu mengendus-endus di
belakang tuannya, seperti minta pembelaan.
Lelaki itu kembali mendorong gerobak kecilnya
dengan bunyi kricit- kricit roda besi kekurangan gemuk. Anjing betina kurus
berwarna hitam itu kembali melompat ke atas gerobak, bergelung dalam posisi
semula. Bocah perempuan yang memegang krincingan itu mengikuti dari belakang
dalam jarak sepuluh meteran. Bayangan jalan layang tol dalam kota, melindungi
tiga makhluk itu dari sengatan matahari. Sementara lalu lintas semakin padat,
udara semakin pepat berdebu.
Tiba-tiba, lelaki setengah umur itu membelokkan
gerobak kecilnya ke sebuah rumah makan yang sedang padat pengunjung. Dari jauh,
seorang satpam mengacung-acungkan pentungannya tinggi-tinggi. Lelaki itu
seperti tidak memedulikannya, terus saja mendorong hingga ke lapangan parkir
sempit penuh mobil di depan restoran itu. Sepasang orang muda yang baru saja
parkir hendak makan, kembali menutup pintu mobilnya sambil menutup hidung
ketika lelaki itu menyorongkan gerobaknya ke dekat mobil sedan hitam itu.
Seorang pelayan rumah makan itu berlari tergopoh- gopoh keluar, menyerahkan
sekantong plastik makanan pada laki-laki itu sambil menghardik.
“Cepat pergi!”
Lelaki setengah umur itu menghentikan gerobak
kecilnya di depan sebuah halte bus kota. Mengeluarkan beberapa koin untuk
ditukarkan dengan beberapa batang rokok yang dijual oleh seorang penghuni tetap
halte itu dengan gerobak jualannya. Orang-orang yang berdiri di dekat gerobak
rokok itu menghindar tanpa peduli. Halte itu senantiasa ramai karena tak jauh
dari situ ada satu jalur pintu keluar jalan tol yang menukik dan selalu sesak
oleh mobil-mobil yang hendak keluar. Lelaki itu meneruskan perjalanannya menuju
kolong penurunan jalan layang tol itu. Meski berpagar besi, telah lama ada
bagian yang sengaja dibolongi oleh penghuni-penghuni kolong jalan layang itu
untuk dijadikan pintu masuk. Tempat lelaki setengah umur itu di pojok yang rada
gelap dan terlindung dari hujan dan panas. Dari dulu tempatnya di situ, tak ada
yang berani mengusik. Kecuali beberapa kali ia diangkut oleh pasukan tramtib
kota, lalu kemudian dilepas dan kembali lagi ke situ. Ia lalu membongkar isi
gerobaknya, mengeluarkan lipatan kardus dan mengaturnya menjadi tikar. Anjing
betina berwarna hitam kurus itu mengibas-ngibaskan ekornya ketika lelaki itu
mengambil sebuah piring plastik dari dalam buntelan, lalu membagi makanan yang
didapatnya dari rumah makan tadi. Keduanya makan dengan lahap tanpa menoleh
kanan-kiri.
Bocah perempuan ingusan itu berdiri dari jauh di
bawah kolong jalan layang itu, memandang dengan rasa lapar yang menyodok pada
dua makhluk yang sedang asyik menikmati makan siang itu. Ia memberanikan
dirinya menuju kedua makhluk itu, lalu bergabung makan dengan anjing betina
berwarna hitam kurus itu. Ternyata anjing betina itu penakut. Ia menghindar dan
makanan yang tinggal sedikit itu sepenuhnya dikuasai bocah perempuan itu dan ia
melahapnya. Sedang lelaki setengah umur itu tidak peduli, meneruskan makannya
hingga licin tandas dari daun pisang dan kertas coklat pembungkus. Mengeluarkan
sebuah botol air kemasan berisi air, meminumnya separuh. Tanpa bicara apa- apa,
bocah perempuan ingusan itu menyambar botol itu dan meminumnya juga hingga
tandas. Lelaki setengah umur itu hanya memandang, sedikit terkejut, tapi tidak
bicara apa-apa. Air mukanya tawar saja. Mengeluarkan rokok dan membakarnya
sambil bersandar pada gerobak kecilnya. Tergeletak tidur setelah itu di atas
bentangan kardus kumal.
Malam telah larut. Bocah perempuan ingusan itu
terbirit-birit dikejar gerimis yang mulai menghujan. Rambutnya yang nyaris
gimbal itu kini melekat lurus-lurus di kulit kepalanya disiram gerimis. Bunyi
krincingan dan kresek-kresek kantong plastik yang dibawanya membangunkan anjing
betina kurus berwarna hitam itu. Ia menyalak sedikit, kemudian merungus setelah
dilempari sepotong kue oleh bocah itu. Lewat penerangan jalan, samar- samar
dilihatnya lekaki setengah umur itu tidur bergulung bagai angka lima di atas
kardus. Setelah melahap kue, anjing itu kembali tidur di sebelah tuannya, di
atas bentangan kardus yang tersisa.
Bocah itu mengeluarkan lilin dan korek api dari
dalam kantong plastik. Berkali-kali menggoreskan korek api, padam lagi oleh
tiupan angin bertempias. Lalu ia mendekat ke arah lelaki setengah umur itu agar
lebih terlindung oleh angin dan berhasil menyalakan lilin. Bocah itu melihat
ujung lipatan kardus tersembul dari dalam gerobak kecil di atas kepala lelaki
setengah umur itu. Ia berusaha menariknya keluar tanpa menimbulkan suara
berisik dan membangunkan lelaki itu. Setelah berhasil, ia membaringkan dirinya
yang setengah menggigil karena pakaiannya basah. Merapat pada tubuh lelaki yang
memunggunginya itu, sekadar mendapatkan imbasan panas dari tubuh lelaki itu.
Bocah perempuan ingusan itu cepat terlelap dan
bermimpi berperahu bersama anjing betina kurus berwarna hitam itu di sebuah
danau yang sunyi. Deru mesin mobil yang melintasi jembatan beton di atas mereka
justru menimbulkan rasa tenteram, rasa hidup di sebuah kota yang sibuk. Lelaki
setengah umur itu juga sedang bermimpi tidur dengan seorang perempuan. Ketika
ia membalikkan badannya, ia menangkap erat-erat tubuh bocah yang setengah basah
itu dan melanjutkan mimpinya.
Sebelumnya, kolong penurunan jalan layang tol itu
cukup padat penghuninya di malam hari. Beberapa anak jalanan yang sehari- hari
mengamen di sepanjang jalan bawah, juga bermalam di situ. Ada lima anak jalanan
laki-laki yang selalu menjahili bocah perempuan yang selalu membawa krincingan
itu sampai menangis berteriak-teriak. Lelaki setengah umur itu membiarkannya
saja. Mungkin menurutnya sesuatu yang biasa-biasa saja, meskipun anak-anak
lelaki itu sampai-sampai menelanjangi bocah perempuan ingusan itu. Penghuni
lain pun tak ada yang berani membela. Sejak itu, bocah perempuan ingusan itu
menghilang, entah tidur di mana.
Lelaki setengah umur itu mulai marah ketika suatu
hari ia membawa seekor anjing betina kurus berwarna hitam ke markasnya. Mungkin
anjing itu kurang sehat hingga semalaman anjing itu terkaing-kaing. Lelaki itu
tampak berusaha keras mengobati anjing itu dengan menyuguhkan makanan dan air.
Tapi, anak-anak jalanan yang jahil itu melempari anjing itu dengan batu. Salah
satu batunya mengenai kepala lelaki itu. Lelaki itu meradang, lalu mengambil
golok di dalam timbunan buntelan dalam gerobak kecilnya. Anak-anak itu
dikejarnya. Konon salah seorang terluka oleh golok itu. Namun, mereka tak ada
yang berani melawan dan tak berani kembali lagi.
Sebelum subuh, pasukan tramtib itu datang lagi,
lengkap dengan polisi dan beberapa truk dengan bak terbuka pengangkut
gelandangan. Sebelum matahari muncul, kolong- kolong jembatan dan jalan layang
harus bersih dari manusia-manusia kasta paling melata itu. Mimpi lelaki itu
tersangkut bersama gerobaknya di atas bak truk. Begitu juga bocah perempuan
itu. Lelaki setengah umur itu menggapai-gapaikan tangannya, minta petugas
menaikkan anjingnya yang menyalak-nyalak, minta ikut bersama tuannya. Tapi,
sebuah pentungan kayu telah mendarat di kepala anjing kurus itu hingga
terkaing-kaing, berlari ke seberang jalan dan hilang ditelan kegelapan.
“Mampus kau, anjing kurapan!” sumpah petugas itu
sambil melompat ke atas truk yang segera berangkat.
Bak truk terbuka itu nyaris penuh, termasuk
tukang rokok di halte dekat situ. Lelaki setengah umur itu tampak geram.
Matanya mencorong ke arah petugas yang memegang pentungan. Petugas itu
pura-pura tidak melihat. Hujan telah berhenti. Iringan truk yang penuh manusia
gelandangan kota yang dikawal mobil polisi bersenjata lengkap di depannya,
menuju ke suatu tempat arah ke Utara, dan kemudian membelok ke kanan. Dari
pengeras suara di puncak-puncak menara masjid terdengar azan subuh
bersahut-sahutan. Bulan semangka tipis masih menggantung di langit,
kadang-kadang tertutup awan yang bergerak ke Barat.
Beberapa minggu kemudian, pelintas jembatan
penyeberangan yang beratap itu, kembali menemukan lelaki setengah umur itu
berpraktik di tempat sebelumnya. Ia baru turun mengemasi kaleng peot dan alas
kardusnya ketika matahari mulai tergelincir ke Barat. Melangkah dengan pasti,
menuju tempat gerobak kecilnya ditambatkan.
Di depan pangkalan truk yang telah menyempitkan
jalan, lelaki itu mendorong gerobak kecilnya dengan santai sambil mengawasi
puntung-puntung rokok yang masih berapi dilempar sopir-sopir truk ke jalan. Ada
yang sengaja melemparkan puntung rokoknya ketika laki- laki bergerobak itu
melintas. Di atas gerobaknya, kini bertengger bocah perempuan ingusan itu
sambil terus bernyanyi dengan iringan krincingannya. Orang-orang tak ada yang
peduli.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar